BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Pada dewasa ini, banyak sekali pendekatan-pendekatan terapi yang dipelajari
oleh konselor. Pendekatan-pendekatan tersebut antara lain : Pendekatan
Psikoanalitik, Pendekatan Eksistensial-Humanistik, Pendekatan Client-Centered,
Terapi Gestalt, Terapi Tingkah Laku, Terapi Rasional-Emotif, Terapi
Realitas, dan lain-lain. Diantara berbagai pendekatan-pendekatan dan terapi
tersebut, pendekatan dengan Terapi Realitas menunjukkan perbedaan yang besar
dengan sebagian besar pendekatan konseling dan psikoterapi yang ada. Terapi
Realitas juga telah meraih popularitas di kalangan konselor sekolah, para guru dan
pimpinan sekolah dasar dan sekolah menengah, dan para pekerja rehabilitasi.
Selain itu, Terapi Realitas menyajikan banyak masalah dasar dalam konseling
yang menjadi dasar pernyataan-pernyataan seperti: Apa kenyataan itu?
Haruskah terapis mengajar pasiennya? Apa yang harus diajarkan? Dan
sebagainya. Sistem Terapi Realitas difokuskan pada tingkah laku sekarang. Oleh
karena itu, seorang konselor maupun calon konselor wajib mempelajari Terapi
Realitas.
1.2 Rumusan
Masalah
Bertitik
tolak dari latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
masalah yaitu :
1. Apa pengertian dari Terapi Realitas?
2. Apa Pandangan tentang Sifat Manusia dari terspi
realitas?
3. Apa saja ciri-ciri dari terapi realitas?
4. Apa saja tujuan-tujuan dari terapi
realitas?
5. Apa pengalaman klien dalam terapi?
6. Apa hubungan antara terapis dengan
klien?
7. Apa saja tahap-tahap konseling
reality?
8. Bagaimana penerapan pada
situasi-situasi konseling?
9. Bagaimana penerapannya di sekolah?
1.3 Tujuan
Penulisan Makalah
1. Untuk memenuhi kewajiban dalam mata
kuliah Teori dan Teknik Konseling
2. Untuk mengetahui pandangan Terapi
Realitas terhadap sifat manusia
3. Untuk mengetahui teknik-teknik yang
digunakan dalam Terapi Realitas
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Terapi Realitas
Terapi
Realitas adalah suatu sistem yang difokuskan pada tingkah laku sekarang.
Terapis berfungsi sebagai guru dan model serta mengonfrontasikan klien dengan
cara-cara yang bisa membantu klien menghadapi kenyataan dan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain.
Inti terapi realitas adalah penerimaan tanggung jawab pribadi yang dipersamakan
dengan kesehatan mental. Terapi Realitas, yang menguraikan prinsip-prinsip dan
prosedur-prosedur yang dirancang untuk membantu orang-orang dalam mencapai
suatu “identitas keberhasilan”, dapat diterapkan pada psikoterapi, konseling,
pengajaran, kerja kelompok, konseling perkawinan, pengelolaan lembaga, dan
perkembangan masyarakat.
Terapi
Realitas adalah suatu bentuk modifikasi tingkah laku karena dalam
penerapan-penerapan institusionalnya, merupakan tipe pengkondisian operan
yang tidak ketat. Glasser mengembangkan terapi realitas dan meraih
popularitasnya karena berhasil menerjemahkan sejumlah konsep modifikasi tingkah
laku ke dalam model praktek yang relatif sederhana dan tidak berbelit-belit.
2.2 Pandangan tentang Sifat Manusia
Terapi realiatas berlandaskan premis bahwa ada suatu
kebutuhan psikologis tunggal yang hadir sepanjang hidup, yaitu kebutuhan
identitas yang mencakup suatu kebutuhan untuk merasakan keunikan, keterpisahan,
dan ketersendirian. Kebutuhan akan identitas menyebabkan dinamika –
dinamika tingkah laku, dipandang sebagai universal pada semua kebudayaan.
Menurut terapi realitas akan sangat berguna apabila menganggap identitas dalam
pengertian” lawan” identitas kegagalan”. Dalam pembentukan identitas, masing-masing
dari kita mengembangkan keterlibatan-keterlibatan dengan orang lain dan dengan
bayangan diri, yang dengannya kita merasa relatif berhasil atau tidak berhasil.
Orang lain memainkan peranan yang berarti dalam membantu kita menjelaskan dan
memahami identitas kita sendiri. Cinta dan penerimaan berkaitan langsung dengan
pembentukan identitas. Menurut Glasser (1965. Hlm 9), basis dari terapi relitas
adalah membantu para klien dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar
psikologisnya, yang mencakup “ kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta
kebutuhan untuk merasakan bahwa kita berguna baik bagi kita sendiri maupun bagi
orang lain”.
Pandangan tentang manusia mencakup pernyataan bahwa
suatu “ kekuatan pertumbuhan “ mendorong kita untuk berusaha mencapai suatu
identitas keberhasilan. Sebagai mana dinyatakan oleh Glasser dan Zunin (1973,
hlm 297), “Kami percaya bahwa masing-masing individu memiliki suatu kekuatan
kearah kesehatan atau pertumbuhan. Pada dasarnya, orang-orang ingin puas hati
dan menikmati suatu identitas keberhasilan, menunjukkan tingkah laku yang
bertanggung jawab dan memiliki hubungan interpersonal yang penuh makna”.
Penderitaan pribadi bisa diubah hanya dengan perubahan identitas. Pandangan
terapi realitas menyatakan bahwa, karena individu-individu bisa mengubah cara
hidup, perasaan, dan tingkah lakunya, maka merekapun bisa mengubah
identitasnya. Perubahan identitas bergantung pada perubahan tingkah laku.
Maka jelaslah bahwa terapi realitas tidak berpijak
pada filsafat deterministik tentang manusia, tetapi dibangun diatas asumsi
bahwa manusia adalah agen yang menentukan dirinya sendiri. Prinsip ini
menyiratkan bahwa masing-masing orang memikul tanggung jawab untuk menerima
konsekuensi- konsekuensi dari tingkah lakunya sendiri. Tampaknya orang menjadi
apa yang ditetapkannya. .
2.3
Ciri – Ciri Terapi Realitas
Ada delapan ciri yang menentukan terapi realitas
sebagai berikut :
1. Terapi realitas menolak tentang penyakit mental. Ia
berasumsi bahwa bentuk-bentuk gangguan tingkah laku yang spesifik adalah akibat
dari ketidak bertanggung jawaban.
Pendekatan ini tidak berurusan dengan
diagnosis-diagnosis psikologis. Ia mempersamakan gangguan mental dengan tingkah
laku yang tidak bertanggung jawab dan mempersamakan kesehatan mental dengan
tingkah laku yang bertanggung jawab.
2. Terapi realitas berfokus pada tingkah laku sekarang
alih-alih pada perasaan- perasaan dan sikaf-sikaf. Meskipun tidak menganggap
perasaan-perasaan dan sikap-sikap itu tidak penting, tetapi realitas menekankan
kesadaran atas yingkah laku sekarang. Terapis realitas juga tidak bergantung
pada pemahaman untuk menubah sikap-sikap tetapi menekankan bahwa perubahan
sikap mengikuti perubahan tingkah laku.
3. Terapis realitas berfokus pada saat sekarang, bukan
pada masa lampau. Karena masa lampau seseorang telah tetap dan tidak bisa
diubah, maka yang bisa diubah hanyalah saat sekarang dan masa yang akan datang.
Terapis terbuka untuk mengekplorasi segenap aspek dari kehidupan klien
sekarang, mencakup harapan-harapan, ketakutan-ketakutan, dan nilai-nilainya.
Terapi menekankan kekuatan-kekuatan, potensi-potensi, keberhasilan-kebrhasilan,
dan kualitas-kualitas positif dari klien dan tidak hanya meperhatikan
kemalangan dan gejala-gejalanya. Glasser (1965, hlm.31) berpendapat bahwa klien
dipandang sebagai “ pribadi dengan potensi yang kuat, bukan hanya sebagai
pasien yang memiliki masalah-masalah”.
4. Terapi realitas menekankan pertinbangan-pertimbangan
nilai. Terapi realitas menempatkan pokok kepentingannya pada peran klien dalam
menilai kualitas tingkah lakunya sendiri dalam menentukan apa yang membantu
kegagalan yang dialaminya. Terapi ini beranggapan bahwa perubahan mustahil
terjadi tanpa melihat pada tingkah laku dan membuat beberapa ketentuan mengenai
sifat-sifat konstruktif dan destruktifnya. Jika para klien menjadi sadar bahwa
mereka tidak akan memperoleh apa yang merek inginkan dan bahwa tingkah laku
mereka merusak diri, maka ada kemungkinan yang nyata untuk terjadinya perubahan
positif, semata-mata karena mereka menetapkan bahwa alternatif-alternatif bisa
lebih baik daripada gaya mereka sekarang yang tidak realistis.
5. Terapi realitas tidak menekankan transferensi. Ia
tidak memandang konsep tradisional tentang transferensi sebagai hal yang
penting. Ia memandang transferensi sebagai suatu cara bagi terapis untuk tetap
bersembunyi sebagai pribadi. Terapi realitas mengimbau agar para terapis
menempuh cara beradanya yang sejati, yakni bahwa mereka menjadi diri sendiri,
tidak memainkan peran sebagai ayah atau ibu klien. Glassier (1965) menyatakan
bahwa para klien tidak mencari suatu pengulangan keterlibatan di masa lampau
yang tidak berhasil, tetapi mencari suatu keterlibatan manusiawi yang memuaskan
dengan orang lain dalam keberadaan mereka sekarang. Terapis bisa menjadi orang
yang membantu para klien dalam memeuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sekarang
dengan membangun suatu hubungan yang personal dan tulus.
6. Terapi realitas menekankan aspek-aspek kesadaran,
bukan aspek-aspek ketaksadaran. Teori psikoanalitik, yang berasumsi bahwa
pemahaman dan kesadaran atas proses-proses ketaksadaran sebagai suatu prasyarat
bagi perubahan kepribadian, menekankan pengungkapan konflik-konflik tak sadar
melalui teknik-teknik seperti analisis transferensi, analisis mimpi,
asosiasi-asosiasi bebas, dan analisis resistensi. Sebaliknya, terapi realitas
menekankan kekeliruan yang dilakukan oleh klien, bagaimana tingkah laku klien
sekarang hingga dia tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, dan bagaimana dia
bisa terlibat dalam suatu rencana bagi tingkah laku yang berhasil yang
berlandaskan tingkah laku yang bertanggung jawab dan realistis.
7. Terapi realitas menhapus hukuman. Glasser
mengingatkan bahwa pemberian hukuman guna mengubah tingkah laku tidak efektif
dan bahwa hukuman untuk kegagalan melaksanakan rencana-rencana mengakibatkan
perkuatan identitas kegagalan pada klien dan perusakan hubungan terapiutik.
Dalam bukunya yang berjudul Schools without Failure, Glasser (1969, hlm. 7 )
mengeksplorasi secara rinci masalah kegagalan sebagai suatu cara menghukum para
siswa dalam situasi sekolah. Ia menyatakan bahwa “ masalah utama
disekolah-sekolah adalah masalah kegagalan. Ia mengimbau pembentukan suatu
sistem pendidikan yang berakar pada suatu filsafat pendidikan yang memungkinkan
pengalaman belajar yang berhasil. Ia meminta agar para pendidik “ memeriksa
kekurangan-kekurangan yang ada pada pendidikan itu sendiri yang mengakibatkan
kegagalan sekolah, kemudian pembentukan suatu program yang akan mengoreksinya”
(Glasser, 1969, hlm. 11).
8. Terapi realitas menekankan tanggng jawab, yang oleh
Glasser(1965, hlm 13) didefinisikan sebagai “kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuha sendiri dan melakukannya dengan cara tidak mengurangi
kemampuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka”. Belajar
tanggung jawab adalah proses seumur hidup. Meskipun kita semua memiliki
kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta kebutuhan untuk memiliki rasa
berguna, kita tidak memiliki kemampuan bawaan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan itu. Glasser (hlm 10) menyatakan bahwa “kita perlu belajar
untuk mengoreksi diri apabila kita membuat salah dan membanggakan diri apabila
kita berbuat benar”. Untuk memperbaiki tingkah laku kita apabila berada dibawah
standar tengah kita perlu mengevaluasi tingkah laku kita itu. Oleh karenanya,
bagian yang esensial dari terapi realitas mencakup moral standar-standar,
pertimbangan-pertimbangan nilai, serta benar dan salahnya tingkah laku karena
semuanya itu berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan akan rasa berguna.
Menurut Glasser, orang yang bertanggung jawab melakukan apa-apa yang memberikan
kepada dirinya perasaan diri berguna dan perasaan bahwa dirinya berguna bagi
orang.
Glasser
(1965) menyatakan bahwa mengajarkan tanggung jawab adalah konsep inti dalam
terapi realitas. Jika kebanyakan hewan didorong oleh naluri, manusia
mengembangkan kemampuan untuk belajar dan mengajarkan tanggung jawab. Oleh
karenanya, terapi realitas menekankan fungsi terapis sebagai pengajar. Terapis
mengajari para klien cara-cara yang lebih baik dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya dengan mengeksplorasi keistimewaan-keistimewaan dari
kehidupan sehari-harinya dan kemudian membuat pernyataan-pernyataan direktif
dan saran-saran mengenai cara-cara memecahkan masalah yang lebih efektif.
Terapi menjadi suatu pendidikan khusus di mana rencana-rencana dibuat serta
alat-alat yang realistik dan bertanggung jawab untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pribadi diuji.
Kekuatan
dan Kontribusi dari Terapi Realitas
Terapi realitas mempunyai sejumlah kekuatan
dan telah memberikan kontribusi pada konseling seperti dibawah ini :
· Pendekatan ini fleksibel dan dapat diterapkan
pada bnayak populasi. Khususnya tepat diterapkan dalam perawatan penyimpangan
perilaku, penyalahgunaan obat, penyimpangan pengendaluian impuls, penyimpangan
kepribadian, dan tingkah laku antisosial. Terapi ini dapat diterapkan dalam
konseling individual untuk anak-anak, remaja, dan juga lansia dan juga dalam
konseling kelompok, perkawinan, dan keluarga.
· Pendekatan ini konkret. Baik konselor maupun
klien dapat dinilai untuk mengetahui seberapa besar kemajuan yang telah dibuat
kontrak tujuan tertentu.
· Pendekatan ini menekankan pada perawatan
jangka pendek terapi realitas biasanya terbatas hanya beberapa sesi yang
berfokus pada perilaku masa sekarang.
· Pendekatan ini mempunyai pusat pelatihan
Nasional dan diajarkan secara Internasional.
· Pendekatan ini meningkatkan Tanggung jawab dan
kebebasan dalam diri individu, tanpa menyalahkan atau mengkritik tatau
menstruktur seluruh kepribadiannya.
· Pendekatan ini telah terbukti sukses menantang
model perawatan klien secara medis. Penekanannya yang rasional dan positif
merupakan alternative bagi terapi medis, yang membawa angina segar (James &
Gilililand, 2003).
· Pendekatan ini membahas resolusi konflik.
· Pendekatan ini menekankan pada masa kini
kareena tingkah laku masa kini adalah yang paling responsive terhadp
pengendalian klien. Seperti penganut teori tingkah laku, Gestalt, dan REBT,
Terapi Realitas tidak tertarik pada masa lalu (Wubbolding, 2000).
Keterbatasan Terapi Realitas
Keterbatasan terapi realitas juga mempunyai keterbatasan, diantaranya
adalah :
· Pendekatan ini terlalu menekankan pada tingkah
laku masa kini sehingga terkadang mengabaikan konsep lain, seperti alam bawah
sadar dan riwayat pribadi.
· Pendekatan ini meyakini bahwa semua bentuk
gangguan mental adalah upaya untuk menghadapi peristiwa eksternal (Glesser,
1984).
· Pendekatan ini hanya mempunyai sedikit teori,
meskipun sekarang dikaitkan dengan teori pilihan, yang berarti bahwa pendekatan
ini sudah semakin canggih.
· Pendekatan ini tidak menangani kompleksitas
kehidupan manusia secara penuh dan malah tidak mengindahkan tahap perkembangan.
· Pendekatan ini rentan menjadi terlalu
moralistic.
· Pendekatan ini bergantung pada tercipatanya
suatu hubungan yang baik antara konselor dank lien.
· Pendekatan ini bergantung pada interaksi
verbal dan komunikasi dua arah. Pendekatan ini mempunyai keterbatasan dalam
membantu klien yang, dengan alas an apa pun, tidak dapat mengekspresikan
kebutuhan, pilihan, dan rencana mereka dengan cukup baik (James &
Gilililand, 2003)
· Pendekatan ini terus mengubah fokusnya (Corey,
2005).
2.4 Tujuan-tujuan terapiutik
Tujuan umum
terapi realitas adalah membantu seseorang untuk mencapai otonomi. Otonomi
adalah kematangan yang diperlukan bagi kemampuan seseorang untuk mengganti
dukungan lingkungan dengan dukungan internal. Terapi realitas membantu
orang-orang dalam menentukan dan memperjelas tujuan- tujuan mereka. Terapis
membantu klien menemukan alternative-alternatif dalam mencapai tujuan-tujuan,
tetapi klien sendiri yang menetapkan tujuan –tujuan terapi. Glasser dan
Zunin(1973) sepakat bahwa terapis harus memiliki tujuan-tujuan tertentu bagi
klien dalam pikirannya. Mereka menekankan bahwa criteria psikoterapi yang
berhasil sangat bergantung pada tujuan-tujuan yang ditentukan oleh klien.
Meskipun tidak ada criteria yang kaku yang pencapaiannya menandai selesainya
terapi, criteria umum mengenai pencapaian tingkah laku yang bertanggung jawab
dan pemenuhan tujuan-tujuan klien menunjukan bahwa klien mampu melaksanakan
rencananya secara mandiri dan tidak perlu lagi diberi treatment. Tugas dasar
terapis adalah melibatkan diri dengan klien dan kemudian membuatnya menghadapi
kenyataan. Glasser (1965) merasa bahwa, ketika terapis menghadapi para klien,
dia memaksa mereka itu untuk memutuskan apakah mereka akan atau tidak akan
menempuh “jalan yang bertanggung jawab”. Tugas terapis adalah bertindak sebagai
pembimbing hyang membantu klien agar bisa menilai tingkah lakunya sendiri secra
realistis. Glasser (1972) yang menyatakan bahwa prinsip
evaluasi tingkah lakunya telah sering disalah artikan, menyangkal peran sebagai
moralis. Terapis realistis berasumsi bahwa klien bisa menciptakan kebahagiannya
sendiri dan bahwa kunci untuk menemukan kebahagiaan adalah penerimaan tanggung
jawab. Oleh karena itu terapis tidak menerima pengerlakan atau pengabaian
kenyataan, dan tidak pula menerima tindakan klien menyalahkan apapun atau
siapapun diluar dirinya atas ketidakbahagiaan pada saat sekarang. Tindakan yang
demikian akan melibatkan klien dalam “kenikmatan psikiatrik” yang akan segera
hilang dan mengakibatkan penyesalan. Fungsi penting lainnya dari terapis realistis adalah
memasang batas, mencakup batas-batas dalam situasi terapiutik dan batas-batas
yang ditempatkan oleh kehidupan oleh seseorang. Glasser dan Zunin (1973)
menunjuk penyelenggaraan kontrak sebagai suatu tipe pemasangan batas. Kontrak-kontrak
,yang sering menjadi bagian dari proses terapi, bisa mencakup laporan klien
mengenai keberhasilan maupun kegagalannya dalam pekerjaan diluar situasi
terapi. Acap kali suatu kontrak menetapkan suatu batas yang spesifik bagi
lamanya terapi. Pada akhir waktu , terapi bisa diakhiri dank lien diperbolehkan
menjaga dirinya sendiri. Sebagian klien berfungsi lebih efektif apabila
mereka menyadari bahwa banyaknya pertemuan terapi dibatasi sampai jumlah
tertentu. Selain fungsi-fungsi dan tugas tersebut kemampuan terapis untuk
terlibat denga klien serta untuk melibatkan klien dalam proses terapiutik
dianggap paling utama. Fungsi ini serong kali sulit, terutama apabila klien
tidak menginginkan konseling atau apabila dia meminta”tolong” sekedar
coba-coba. Glasser (1965) menunjukan bahwa cara terjadinya keterlibatan antara
dua orang yang asing banyak berurusan dengan kualitas yang diperlukan pada
terapis. Menurut glasser, beberap atribut atau kualitas pribadi itu mencakup
kemampuan dan kesediaan terapis untuk menuntut, namun peka ; memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya sendiri dalam kenyataan; secara terbuka berbagi
perjuangannya sendiri; bersikap pribadi dan tidak memelihara sikap menjauhkan
diri; membiarkan nilai-nilainya sendiri ditantang oleh klien; tidak menerima dalih
bagi penghindaran tindakan yang bertanggung jawab; menunjukan keberanian
dengan cara sinambung menghadapi klien, tanpa mengindahkan penentangan dari
para klien apabila mereka tidak hidup secara raelistis; memahami dan merasakan
simpati terhadap klien; dan membangun keterlibatan yang tulus dengan klien.
Tujuan utama Terapi Realitas
Tujuan utama dari terapi realitas
adalah membantu klien menjadi rasional dan memiliki mental yang kuat, serta
mnyadari bahwa dia mempunyai pilihan dalam memperlakukan diri sendiri dan orang
lain. Tujuan pertama ini berkaitan dengan tujuan kedua : untuk membantu klien
mengklarifikasi apa yang diinginkannya di dalam kehidupannya. Menyadari
cita-cita hidup sangatlah penting agar manusia dapat bertindak secara
bertanggung jawab. Dalam menilai cita-cita, ahli terapi realitas membantu klien
memeriksa asset pribadi selain dukungan lingkungan dan penghambatnya. Klien
yang bertanggung jawab untuk memilih perilaku yang memenuhi kebutuhan pribadi.
Tujuan ketiga dari terapi realitas adaah membantu klien merumuskan rencana yang
realistis, untuk mencapai kebutuhan dan harapan pribadi.
Tujuan tambahan dari terapi
realitas adalah membuat konselor terlibat dengan klien dalam hubungan yang
penuh makna (Glasser, 1980, 1982, 2000). Hubungan ini didasarkan pada
pemahaman, penerimaan, empati dan kemauan konselor untuk mengekspresikan
keyakinan akan kemampuan klien untuk berubah. Glasser (1988) percaya bahwa
perilaku ( misalnya, pikiran dn tindakan) berhubungan erat dengan perasaan dan
fisiologi. Jadi, perubahan dalam perilaku juga membawa perubahan positif
lainnya.
2.5
Pengalaman Klien dalam Terapi
Para klien
dalam terapi realitas bukanlah orang-orang yang telah belajar menjalani
kehidupan secara bertanggung jawab, melainkan orang-orang yang termasuk tidak
bertanggung jawab. Meskipun tingkah lakunya tidak layak, tidak realistis, dan
tidak bertanggung jawab, tingkah laku para klien itu masih merupakan upaya
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar mereka akan cinta dan rasa berguna.
Perhatian terapeutik diberikan kepada orang yang belum belajar atau kehilangan
kemampuan untuk menjalani kehidupan yang bertanggung jawab.
Para klien
diharapkan berfokus kepada tingkah laku mereka sekarang alih-alih kepada
perasaan-perasaan dan sikap-sikap mereka. Terapis menantang para klien untuk
memandang secara kritis apa yang mereka perbuat dengan kehidupan mereka dan
kemudian membuat pertimbangan nilai yang menyangkut keefektifan tingkah laku
mereka dalam mencapai tujuan. Karena para klien bisa mengendalikan tingkah
lakunya lebih mudah daripada mengendalikan perasaan dan pikirannya. Jika
seorang klien mengeluh bahwa dirinya merasa cemas, terapis bisa bertanya kepada
klien, “ Apa yang anda lakukan untuk membuat diri sendiri cemas?”. Fokusnya
bukanlah perasaan cemas, melainkan membantu klien agar memperoleh kesadaran
atas apa yang dilakukannya sekarang yang menjadikan dirinya cemas.
Setelah para
klien membuat penilaian tertentu tentang tingkah lakunya sendiri serta
memutuskan bahwa mereka ingin berubah, mereka diharapkan membuat
rencana-rencana yang spesifik guna mengubah tingkah laku yang gagal menjadi
tingkah laku yang berhasil. Para klien harus membuat suatu komitmen untuk
melaksanakan rencana-rencana ini. Mereka tidak bisa menghindari komitmen dengan
mempersalahkan, menerangkan, atau memberikan dalih. Mereka harus terlibat aktif
dalam pelaksanaan kontrak -kontrak
terapi mereka sendiri secara bertanggung jawab apabila ingin mencapai kemajuan.
2.6 Hubungan antara Terapis dan Klien
Sebelum
terjadi terapi yang efektif, keterlibatan antara terapis dengan klien harus
berkembang. Para klien harus mengetahui bahwa orang yang membantu mereka, yakni
terapis, menaruh perhatian yang cukup kepada mereka, menerima dan membantu
mereka dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka di dunia nyata. Di bawah ini
merupakan tinjuan ringkas atas prinsip-prinsip yang spesifik yang menyajikan
kerangka bagi proses belajar yang terjadi sebagai hasil dari hubungan antara
terapis dan klien atau guru dan siswa, yang dikemukakan oleh Glasser (1965,
1969) serta Glasser dan Zunin (1973).
Terapi realitas berlandaskan hubungan atau
keterlibatan pribadi antara terapis dan klien. Terapis, dengan kehangatan,
pengertian, penerimaan, dan kepecayaannya atas kesanggupan klien untuk
mengembangkan suatu identitas keberhasilan, harus mengkomunikasikan bahwa dia
menaruh perhatian. Melalui keterlibatan pribadi dengan terapis, klien belajar
bahwa lebih banyak hal dalam hidup ini daripada hanya memusatkan perhatian
kepada kegagalan, kesusahan, dan tingkah laku yang tidak bertanggung jawab.
Terapis mengembangkan hubungan yang sangat seraya menghidari hubungan yang
menjurus kepada percintaan. Menjadi tugas terapis untuk menentukan situasi
terapiutik sehingga klien mamahami sifat, maksud, dan arah hubungan yang
terjalin. Keterlibatan yang diterapkan di sekolah sangat vital bagi seorang
anak untuk mencapai identitas keberhasilan, sejalan dengan imbauannya bagi
pembentukan hubungan pribadi antara terapis dan klien, Glasser memandang bahwa
keterlibatan sangan penting antara guru dan siswa.
Perencanaan adalah hal yang esensial dalam terapis
realitas. Situasi terapiutik tidak terbatas pada diskusi-diskusi antara terapis
dan klien. Mereka harus membentuk rencana-rencana, jika sudah terbentuk harus
dijalankan ; dalam terapi realitas tindakan adalah bagian yang esensial. Kerja
yang paling penting dalam proses terapiutik adalah membantu klien agar
mengenali cara-cara spesifik untuk mengubah tingkah laku kegagalan menjadi
tingkah laku keberhasilan. Rencana-rencana bukanlah hal yang mutlak, yang
terutama merupakan cara-cara alternatif bagi klien untuk memecahkan masalah dan
untuk memperluas pengalaman hidup yang penuh keberhasilan.
Komitmen adalah kunci utama terapi realitas. Setelah
para klien membuat pertimbangan nilai mengenai tingkah laku mereka sendiri dan
memutuskan rencana tindakan, terapis membantu mereka dalam membuat suatu
komitmen untuk melaksanakan rencana-rencana itu dalam kehidupan mereka.
Pernyataan dan rencana tidak ada artinya sebelum ada keputusan untuk
melaksanakannya. Dengan menjalani rencana-rencana yang dibuat para klien
diharapkan bisa memperoleh rasa berguna.
Terapi realitas tidak menerima dalih. Tidak semua
komitmen klien bisa terlaksana, ada rencana-rencanayang bisa gagal. Tetapi,
jika rencana-rencana gagal terapi realitas tidak menerima dalih. Ia tidak
tertarik untuk mendengar ala san-alasan,
penyalahan, dan keterangan-keterangan klien tentang mengapa rencananya gagal.
Terapis harus berfokus pada apa maksud klien menyelesaikan sesuatu yag
diputuskan untuk dilaksanakan alih-alih pada mengapa.
2.7 Teknik-Teknik
dan Prosedur-Prosedur Terapiutik
Terapi realitas bisa
ditandai sebagai terapi yang aktif secara verbal. Dalam membantu klien dalam
menciptakan identitas keberhasilan, terapis bisa menggunakan beberapa teknik
sebagai berikut :
1. Terlibat dalam permainan peran dengan klien;
2. Menggunakan humor;
3. Mengonfrontasikan klien dan menolak dalih apapun;
4. Membantu klien dalam merumuskan rencana-rencana yang
spesifik bagi tindakan;
5. Bertindak sebagai model dan guru;
6. Memasang batas-batas dan menyusun situasi terapi;
7. Menggunakan “terapi kejutan verbal” atau sarkasme
yang layak untuk mengonfrontasikan klien dengan tingkah lakunya yang tidak
realistis; dan
8. Melibatkan diri dengan klien dalam upayanya mencari
kehidupan yang lebih efektif.
Terapi realitas tidak memasukkan sejumlah teknik
yang secara umum diterima oleh pendekatan-pendekatan terapi lain. Pempraktek
terapi realitas berusaha membangun kerja sama dengan para klien untuk membantu
mereka dalam mencapai tujuan-tujuannya. Teknik-teknik diagnostik tidak menjadi
bagian dari terapi realitas. Teknik-teknik lain yang tidak digunakan adalah
penafsiran, pemahaman, wawancara-wawancara non direktif, sikap diam yang
berkepanjangan, asosiasi bebas, analisis transferensi dan resistensi, dan
analisis mimpi.
2.8 Tahap-tahap
konseling reality
Proses
konseeling dalam pendekatan relitas berpedoman pada dua unsur utama, yaitu
penciptaan kondisi lingkungan yang kondusif dan beberapa prosedur yang menjadi
pedoman untuk mendorong terjadinya
perubahan pada konseli. Secara praktis, Thompson, et. El. An (2004:115-120)
mengemukakan delapan tahap konseli dalam realita.
1. Konselor menunjukkan keterlibatan
dengan konseli ( be friend)
Pada
tahap ini, konselor mengawali pertemuan dengan bersikap otentik,hangat, dan
menaruh perhatian pada hubungan yang sedang di bangun. Konselor harus
melibatkan diri pada konseli dengan memperlihatkan sikap hangat dan ramah.
Hubungan yang terbangun antar konselor dan konseli sangat penting sebab konseli
akan terbuka dan bersedia menjalani proses konselng jika dia merasa bahwa
konselornya terlibat,dan bersahabat dan dapat di peracaya.oleh karena itu
penerimaan yang positif adalah sangat esensial agar proses konseling berjalan
efektif
Menunjukkan keterlibatan dengan konseli
dapat di tunjukkan dengan perilaku attending.
Perilaku ini tampak dalam kontak mata ( menatap konseli), ekspresi wajah
(menunjukkan minatnya tanpa di buat-buat), duduk dengan sikap terbuka (agak
maju ke depan dan tidak bersandar), poros tubuh agak condong dan di arahkan ke
konseli, melakukan respon refleksi, memperhatikan perilaku nonverbal konseli.
Dan melakukan parafrase.
Selain itu, konselor perlu menunjukkan
sikap bersahabat. Pada tahap awal, umumnya konseli mununjukkan tidak
membutuhkan bantuan konseli, terlebih bila konseli tidak datang dengan suka
rela. Meskipun konseli mununjukkan ketidak senangan, marah,atau bersikap yang
tidak berkenan, dan sebagainya konselor harus tetap menunjukkan sikap ramah dan
tenang, tetap tenang dan tidak mengintimidasi konseli. Kalimat yang di
ungkapkan konselor harus menunjukkan bahwa konselor bersahabat dengan konseli.
Respon yang di ungkapkan juga tidak
mengekpresikan apa yang sedang di lakukan oleh konseli pada saat itu, tetapi
menunjukkan kekuatan dan fleksebilitas konseli, bukan kelemahan da kekuatan
konseli. Mengapa? Karena pada dasarnya konseli b ukan sedang marah pada
konselor. Oleh karena itu, respon konselor harus mengandung muatan bahwa ia
sedang menyampaikan tekadang marah bukanlah kesalahan, sebab dalam keadaan tertentu,
marah kadang jadi pilihan. Berikut adalah respon konselor yang menunjukan sikap di atas.
Konseli:
“sebenarnya saya tidak perlu bantuan ibu, saya sudah tahu apa yang akan ibu
sarankan kepada saya. Percuma lah ibu, buang buang waktu saja. Lagi pula selama
ini juga tidak ada yang peduli sama saya....”
Konselor
: “saya bisa membantu anda kalau anda bersedia mendiskusikan hal tersebut
dengan saya..”
Konselor juga perlu
menunjukkan bahwa ia bertekad membantu konseli. Konseling realita selalu
berpedoman bahwa perilaku total (tottal behavior) hampir selalu di pilih.
Karenanya, tingkah laku yang lebih efisien dan lebih membantu di perlukan bagi
konseli yang sedang menghadapi maslah.
Konseli
: “ ibu pasti mengira bahwa depresi yang saya alami hanya bersifat
seementara...”
Konselor :
“tidak pernah terpikir dalam benak saya anda akan mengalami hal itu
selamanya..”
Keterlibatan konseli
juga dapat di tunjukkan dengan sikap antusias. Sikap antusias. Konseli akan
merasa bahwa ia akan benar-benar akan di bantu oleh konselor apabila konselor
selalu menunjukkan sikap antusias. Sikap antusias juga menggambarkan pandangan
konselor yang optimis terhadap konseli. Selain itu, sikap antusias menunjukkan
bahwa konselor benar-benar terlibat dan mau melibatkan diri dalam konseling.
Hal yang penting sekali
dalam proses konseling, konselor juga harus bersikap genuince.melalui proses, konseli belajar bahwa mental yang sehat
dan kehidupan akan menjadi lebih baik jika relasi antar manusia disadari saling
keterbukaan dan apa adanya dari pada bersikap berpura-pura dan manipulasi. Oleh
karna itu, bersikap jujur dan berterus terang juga sangat penting.
Konselor juga tidak
menghakimi konseli atau tidak memberi penilaian atas apa yang telah di lakukan
konseli. Dengan demikian, konselor dapat memahami apapun yaangg telah di
lakukan konseli, merupakan pilihan terbaik yang di lakukan pada saat itu. Dalam
konteks ini biasanya konseli berharap konselor akan mendiskuskan kegagalan
perilaku yang di alaminya, misal mengenai konseli yang mengonsumsi narkoba,
masalah yang di alami konseli di masa lampau, dan sebagainya. Sebaliknya,
konselor lebih cendrung mendiskusikan keberhasilan konseli. Hal ini berarti
konselor mengajak konseli untuk melihat kebutuhan lain yang ada dalam dirinya
dari pada berkutat pada permasalahan yang di alami yang pada dasarnya bersifat
sementara meskipun pada tahap-tahap konseling selanjutnya, konseli akan di
hadapkan pada pokok permasalan.
2. Fokus perilaku pada perilaku yang
sekarang.
Setelah
konseli melibatkan diri kepada konselor, maka konselor menanyakan kepada
konseli apa yang akan di lakukan sekarang. Tahap ke dua ini merupakan ekplorasi
diri bagi konseli . Konseli mengungkapkan ketidaknyamanan yang ia rasakan dalam
menghadapi permasalahanya. Lalu konselor meminta konseli mendiskripsikan
hal-hal apa saja yang telah di lakukan dalam menghadapi kondisi tersebut.
Secara rinci tahap ini meliputi:
Ø
eksplorasi “picture
albume” (keinginan), kebutuhan, dan persepsi
Ø
Menayakan keinginanan konseli.
Konselor
: “ saya akan memebantu anda jika anda bersedia mendiskusikan apa yang anda
alami.”
Konseli :” saya baik-baik saja kok.”
Konselor
:” saya juga berharap seperti itu, tapi mungkin ada yang ingin anda sampaikan
dengan ke datangan anda ke sini.
Konseli : ”sudah satu tahun belakangan saya
mengenal putaw dan merasa tenang setelah mengonsumsinya.”
Konselor
: “apa yang anda inginkan dengan menonsumsi putaw?”
Konseli : “kondisi keluarga membuat saya tertekan
dan saya memperoleh ketenangan dengan mengonsumsi putaw.”
Ø
Menanyakan apa yang benar-benar di
inginkan konseli
Konselor
: “jadi anda menginginkan ketenangan? Ketenangan yang bagaimana yang anda
inginkan.?
Konseli : “saya pusing setiap hari mendengar
pertengkaran orang tua saya.?
Konselor
: “kamu tidak ingin orang tua mu tidak selalu bertengkar ?”
Konseli : “ya....”
Konselor : “apa lagi yang bener-bener kamu inginkan”
Ø Menanyakan
apa yang terpikir oleh konseli tentang apa yang di inginkan orang lain dari
dirinya dan menanyakan bagaimana konseli melihat hal tersebut.
Konselor
: “apa yang di inginkan orang tua mu dari anda”
Konseli : “mereka ingin saya menjadi anak yang
penurut, padahal saya begigni karena mereka Cuma sibuk bertengkar, tidak pernah memperhatikan
saya.
Pada
tahap kedua ini konselor juga perlu mengatakan kepada koseli yang dapat di
lakukan konselor, yang di ingikan konselor dari konseli, bagaimana konselor
melihat siuasi tersebut, kemudian komitemen untuk konseling.
3. Mengeksplorasi total konseli
behavior konseli
Menanayakan
apa yang di lakukan konseli (doing), yaitu: konselor menayankan secara spesifik
apa saja yang di lakukan konseli; cara pandang dalam konseling realita, akar
permasalahan konseli bersumber pada prilakunya (doing), bukan pada prasaanya.
Misal, konseli mengungkapkan setiap kali menghadapi ujian ia mengalami
kecemasan yang luar biasa. Dalam pandangan konseling reality, yang harus di
atasi bukan kecemasan konseli , tapi hal-hal apa saja yang telah di lakukannya
untuk menghadapi ujian.
4. Konseli menilai diri sendiri atau
melakukan mengevaluasi
Memasuki
tahap ke empat, konselor menyakan kepada konseli apakah pilihan perilakunya itu
di sadari oleh keyakinan bahwa hal itu baik baginya. Fungsi konselor tidak
untuk menilai benar atau salah perilaku konseli,tetapi membimbing konseli untuk
menilai perilakunya saat ini. Beri kesempatan pada konseli untuk mengevaluasi,
apakah ia cukup terbantu dengan pilihannya tersebut.
Pada tahap ini, respon-respon konselor di
antaranya menanyakan apakah yang di lakukan konseli dapat membantunya keluar
dari permaslahan atau sebliknya. Konselor menyakan kepada konseli apakah
pilihan perilakunya itu di sadari oleh keyakinan bahwa hal tersebut baik
baginya. Fugsi konselor tidak untuk menilai benar atau salah perilaku konseli,
tetapi membimbing konseli untuk menilai perilakunya saat ini. Beri kesempatan
pada konseli untuk mengevaluasi, apakah ia cukup terbantu dengan pilihannya tersebut.
Kemudian bertanya kepada konseli apakah pilihan perilakunya dapat memenuhi apa
yang menjadi kebutuhan konseli saat ini, menyakan apakah konseli akan tetap
pada pilihannya, apakah hal tersebut merupakan perilku yang dapat di terima,
apakah realistis, apakah benar-benar mengatasi masalahnya, apakah keinginan
konseli realitis atau dapat terjadi/dapat di capai, bagaiamana konseli
memandang pilihan perilakunya, sehingga konseli dapat menilai apakah hal
tersebut cukup membnatunya, dan menanyakankomiten konseli untuk mengikuti
proses koneling.
5. Merencanakan tindakan yang
bertanggung jawab
Tahap
ketika konseli mulai menyadari bahwa perilakunya tidak menyelesaikan masalah
dan tidak cukup menolong keadaan dirinya, di lanjutkan dengan memebuat
perencaanan tindakan yang lebih bertanggung jawab, rencana yang di susun
sifatnya spesifik dan kongkrit. Hal-hal apa yang akan di lakukan konseli untuk
keluar dari permaslahan yang sedang di hadapinya.
6. membuat komitmen
konselor
mendorong konseli untuk meralisasikan rencana yang telah di susunnya bersama
konselor sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan.
7. Tidak menerima permintaan maaf atau
alasan konseli
Konseli
akan bertemu kembali dengan konselor
pada waktu yang telah disepakati bersama pada tahap ini konselor menanyakan
perkembangan perilaku konseli. Abaila konseli tidak atau belum berhasil
melakukan apa yang telah di rencanakannya., permintaan maaf konseli atas
segalanya tidak untuk di penuhi konselor. Sebaliknya, konselor mengajak konseli
untuk melihat kembali untuk melihat konseli rencana tersebut dan mengaluasinya
mengapa konseli tidak berhasil. Konselor selanjutnya membantu konseli
merencanakan kembali hal-hal yang berhasil ia lakukan. Pada tahap ini
sebaliknya konselor menghindari kenyataan dengan kata “mengapa” sebab
kecendrungannya konseli akan bersikap defensif dan mencari-cari alasan.
Kondisi
: pada waktu yang telah di sepakati (dua minggu setelah sesi sebelumnya),
konseli datang menemui konselor. dalam proses konseling ia bercerita bahwa
wkatu dua minggu ini ia tetap cemas ketika jam pelajaran matematika karna tidak
dapat menjawab soal-soal latihan yang di berikan guru.
Contoh
respon yang salah
Konseli : “saya tetap merasa cemas saat pelajaran
matematika, pelajarannya sulit..”
Konselor
: “mengapa kamu merasa sulit.?”
Konseli : “saya tidak pernah sempat untuk belajar
karena PR saya banyak Bu..”
Contoh
respon yang benar
Konseli : “tetap merasa cemas saat pelajaran
matematika, pelajarannya sulit..”
Konselor
: “kamu bisa ceritakan kepada saya hal-hal yang menghambat kamu tetap meras
sulit?”
Pada tahap ini, konselor juga tidak bisa
memberikan hukuman, mengkritik, dan berdebat tapi hadapkan konseli pada
konskuensi. Menurut Glasser, memberikan hukuman akan mengurangi keterlibatan
konseli danmenyebabkan ia merasa lebih gagal. Saat konseli belum berhasil
melakukan perubahan, hal itu merupakan pilihannya dan ia akan merasakan
konskuensi dari tindakannya. Konselor memberikan pada konseli, bahwa kondisinya
akan membaik jika ia bersedia melakukan perbaikan itu, selain itu konselor
jangan mudah menyerah. Proses konseling yang efektif anara lain di tunjukkan
dengan dengan seberapa besar kegigihan konselor untuk membantu konseli. Ada
kalanya konseli mengharapkan konselor menyerah dengan bersikap pasif, tidak
koperatif, marah, atau apatis, namun pada tahap inilah konselor dapat
menunjukan bahwa ia benar-benar terlibat dan ingn membantu konseli mengatasi
permasalahannya. Kegigihan konselor dapat memotivasi konseli untk bersama-sama
memecahkan masalah.
8. Tindak lanjut
Merupakan
tahap terlahr dalam konseling. Konselor dan konseli mengevaluasi perkenbangan
yang di capai, konseling berakhir atau di lanjutkan jika tjuan yang telah di
tetapkan belum tercapai.
2.9 Penerapan pada Situasi-situasi konseling
Glasser dan Zunin (1973,
hlm. 307) percaya bahwa teknik-teknik terapi realitas bisa diterapkan pada
lingkup masalah behavioral dan emosional yang luas. Mereka menyatakan bahwa
prosedur-prosedur terapi realitas telah digunakan dengan berhasil pada penanganan
“masalah-masalah individu yang spesifik seperti masalah kecemasan, maladjustment,
konflik-konflik perkawinan, perversi, dan psikosis.
Suatu
area dimana terapi realitas telah digunakan secara ekstensif dengan
keberhasilan yang besar adalah penanganan para pelajar pelanggar hukum. Hasil
kerja Glasser di Ventura School for Girls menunjukkan bahwa
prosedur-prosedur terapi realitas dalam programnya telah mengurangi angka
residivisme secara berarti (Glasser dan Zunin, 1973).
Terapi
realitas cocok digunakan dalam terapi individual, kelompo dan konseling
perkawinan. Terapi kelompok adalah wahana yang efektif dalam penerapan
prosedur-prosedur terapi realitas. Proses kelompok bisa menjadi agen yang kuat
untuk membantu klien dalam melaksanakan rencana-rencana dan komitmen-komitmennya.
Menurut Glasser dan Zunin (1973), konseling perkawinan atau terapi penyatuan
perkawinan sering dilaksanakan oleh terapis realitas. Pada permulaan terapi
perlu ditetapkan apakah pasangan (a) memutuskan untuk mengakhiri ikatan
perkawinan, (b) berkeinginan mengeksplorasi pro dan kontra mengenai
kemungkinan meneruskan hubungan perkawinan, atau (c) secara pasti
menginginkan diteruskannya hubungan perkawinan tetapi meminta bantuan terapis
untuk memperbaiki hubungannya itu. Terapis diharapkan aktif dan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan kepada pemahaman atas dinamika-dinamika
umum perkawinan dan gaya berelasi yang digunakan oleh pasangan terhadap satu
sama lain.
2.9.1 Penerapan di Sekolah
Terapis realitas memiliki implikasi-implikasi
langsung bagi situasi-situasi sekolah. Glasser untuk pertama kalinya menaruh
perhatian pada masalah-masalah belajar dan tingkah laku anak ketika ia
menangani anak-anak perempuan di Ventura School for Girls dari California Youth
Autority. Ia menemukan sejarah yang hampir universal dari kegagalan sekolah di
kalangan anak-anak perempuan tersebut, dan penemuannya itu menjadikan ia konsultan sekolah – sekolah negeri .
Glaser (1965) mengembangkan konsep – konsep untuk membantu anak – anak dalam
memecahkan masalah yang dilukiskan di dalam bukunya,Reality Therapy.
Sementara melanjutkan kerjanya di sekolah – sekolah
dasar negeri,Glasser menjadi yakin bahwa noda kegagalan merembesi amosfer di
kebanyakan sekolah dan memiliki pengaruh merusak terhadap kebanyakan sekolah
dan memiliki pengaruh merusak terhadap kebanyakan anak di sekolah – sekolah.
Penghapusan kegagalan dari sistem sekolah serta pencegahannya alih – alih hanya
treatment menjadi dua diantara tujuan – tujuannya.
Glasser (1969) percaya bahwa pendidikan bisa mebjadi
kunci bagi pergaulan manusia yang efektif. Dalam bukunya School without
Failure, ia mengemukakan program untuk menghapus kegagalan, menitik beratkan
pemikiran ketimbang kerja mengingat, memperkenalakan relevansi ke dalam
kurikulum, mengganti hukuman dengan disiplin menciptakan suatu lingkungan
belajar di mana anak-anak bisa memaksimalkan pengalaman – pengalaman yang
berhasil yang akan menuju pada identitas keberhasilan, menciptakan motivasi dan
keterlibatan, membantu membantu para siswa dalam mengembangkan tingkah laku
yang bertanggung jawab, dan membentuk
cara – cara untuk melibatkan para orang tua dan masyarakat dengan sekolah. Pada
tahun 1970
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Terapi Realitas adalah suatu sistem yang difokuskan
pada tingkah laku sekarang. Terapis berfungsi sebagai guru dan model serta
mengonfrontasikan klien dengan cara-cara yang bisa membantu klien menghadapi
kenyataan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan dirinya sendiri
ataupun orang lain. Inti terapi realitas adalah penerimaan tanggung jawab
pribadi yang dipersamakan dengan kesehatan mental. Pandangan Sifat manusia dari
Terapi realiatas berlandaskan premis bahwa ada suatu kebutuhan psikologis
tunggal yang hadir sepanjang hidup, yaitu kebutuhan identitas yang mencakup
suatu kebutuhan untuk merasakan keunikan, keterpisahan, dan ketersendirian.
Kebutuhan akan identitas menyebabkan dinamika – dinamika tingkah laku,
dipandang sebagai universal pada semua kebudayaan. Menurut terapi realitas akan
sangat berguna apabila menganggap identitas dalam pengertian” lawan” identitas
kegagalan”. Terapi relitas terdiri dari beberapa teknik dan
tahap. Terapi realitas diterapkan di sekolah yaitu Terapis realitas memiliki implikasi-implikasi langsung
bagi situasi-situasi sekolah. Glasser untuk pertama kalinya menaruh perhatian
pada masalah-masalah belajar dan tingkah laku anak ketika ia menangani
anak-anak perempuan di Ventura School for Girls dari California Youth Autority.
Ia menemukan sejarah yang hampir universal dari kegagalan sekolah di kalangan
anak-anak perempuan tersebut, dan penemuannya itu menjadikan ia konsultan sekolah – sekolah negeri .
Glaser (1965) mengembangkan konsep – konsep untuk membantu anak – anak dalam
memecahkan masalah yang dilukiskan di dalam bukunya,Reality Therapy.
DAFTAR
PUSTAKA
Corey, Gerald. 2009. Terapi dan Praktek Konseling &
Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama.
Gladding, T. Samuel.
2012. Konseling “Profesi yang menyeluruh”.
Jakarta Barat : PT Indeks.
Play Baccarat Online - Free or for Real Money | Free or for
BalasHapusPlay online 온카지노 baccarat online for real money. 바카라사이트 A free baccarat game by RealTime Gaming. Baccarat, Poker and Other Live หาเงินออนไลน์ Casino Games.